Selasa, 05 Juni 2012

Tak Ada Anak Haram

Oleh ; Humaini AS
(Ketua Yayasan Kepodang/Koalisi Komunikasi PPPA(KKP3A) Semarang)


ADA dua perempuan,  yang belakangan ini diekspose media karena perjuangan gigihnya dalam hal perkawinan 
di bawah tangan.

Yang pertama adalah Machica Mochtar. Perjuangannya sukses dan membuat Mahkamah Konstitusi bereaksi ‘’mengubah’’ redaksi dalam UU Perkawinan  (UU No 1/1974) . Ia memperjuangkan pengakuan  untuk anaknya Mochammad Iqbal Ramadan dari bapak biologisnya, Moerdiono.

Semantara yang kedua adalah Halimah, mantan istri Bambang Trihatmodjo, anak mantan presiden Soeharto, yang tidak berhasil mempertahankan keutuhan rumah tangganya setelah proses hukum rumit selama 11 tahun, dan tetap dicerai karena ada perempuan lain. (Cempaka edisi 16 - XXII).
Berkaitan dengan keputusan MK dalam kasus Machica Mochtar, PD Aisyiah Kota Semarang, belum lama ini (13/5)  menyelenggarakan diskusi tentang Status Anak Perkawinan di Bawah Tangan. Acara itu, menurut penulis, lebih tepat disebut sebagai sosialisasi putusan MK berkaitan dengan materi UU Perkawinan yang berhubungan dengan anak. Peserta tidak ada yang menolak atau mempersoalkan putusan itu.
Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan No 1/1974 menyebutkan: Anak yang dianggap sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 

Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: ‘’Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’’, kini berubah menjadi: ‘’Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.’’

Dalam perubahan teks itu tidak dijelaskan mengenai ‘’di luar perkawinan’’, apakah perkawinan siri, perkawinan kontrak, atau hasil seks bebas, alias perzinahan.  Wajar jika ulama dan orang-oang yang mengagungkan keluarga harmonis merasa sangat tidak nyaman dengan keputusan Mahkamah Konstitusi itu.

Bisa dimaklumi juga jika kemudian ada yang berpendapat bahwa  perubahan itu menguntungkan perempuan dan laki-laki yang suka iseng, tidak menganggap perkawinan sebagai satu hal yang sakral dan harus dijaga dengan kejujuran untuk memperoleh keluarga sakinah, mawadah, warahmah keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang.   
 Putusan MK  tersebut final, seperti dikatakan oleh  Evarizan SH MH, Direktur Klinik Hukum Ultra Petita Jateng, sebagai narasumber, mendasarkan pada terpenuhinya hak anak. Sementara narasumber Drs Rozihan SH MAg, pakar ilmu fikih yang juga dosen di Unissula mengatakan ada perbedaan antara nikah di bawah tangan dengan seks bebas. 

Nikah di bawah tangan dalam pendekatan fikih tetap sah (kasus Machica Mochtar), maka hak keperdataan anak terhubungkan dengan ayah biologis dan keluarga ayahnya. Sementara anak hasil seks bebas tidak memiliki hak waris dan hubungan keperdataan dan pewalian dengan ayah biologis maupun keluarga ayahnya. Anak hasil seks bebas hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya (al waladu lil firasy)
Hak Anak 
Evarizan, mantan ketua LRC KJHAM Semarang  yang kenyang dengan penanganan masalah perempuan dan anak akibat kekerasan rumah tangga (KDRT) menjelaskan,  berdasar Kepres No 36 / 1990 (hak anak dalam Konvensi Hak Anak): Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum orang tua anak atau anggota keluarga anak. (Pasal 2 ayat 2)

 Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya.
Sementara menurut UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 7 ayat 1): Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Pasal 27 : Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak  kelahirannya dan dituangkan dalam akte kelahiran.

 Selain itu Pasal 77: setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan: a. Diskriminasi  terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau (b) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
      Pada dasarnya anak memang rentan diskriminasi. Apalagi kalau mereka korban perkosaan, korban kekerasan dalam pacaran, hasil dari perkawinan siri dan anak yang lahir dari ikatan tanpa status.  

Evarizan mengutip ‘’Ibu R’’ yang sedang memperjuangkan status hukum anak-anaknya. ‘’Anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya yang akan melahirkannya. Tidak ada anak haram, yang haram adalah orang tua yang menyebabkan mereka terlahir ke dunia.’’

 Rekomendasi yang diajukan, menurut Evarizan: 1 Segera amandemen UU Perkawinan.  2 Membangun budaya tidak menghukum anak, namun menawarkan solusi. 3  Memberi sanksi tegas terhadap bapak biologis yang ingkar. 4 Melindungi dan memenuhi hak anak tanpa syarat. (24)

—Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang/Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A) Semarang) (/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar