Senin, 03 Desember 2012

Penguatan Peran Perempuan

Oleh : Andi Purwanto
  
           (Suara Merdeka-4 Desember 2012) Pada 4-6 Desember 2012, Jakarta menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terkait dengan peran perempuan dalam pembangunan di negara-negara anggota organisasi tersebut. Presiden SBY diagendakan membuka pertemuan dwi tahunan itu, yang juga dihadiri perwakilan dari badan-badan subsider OKI, pengamat, dan sejumlah undangan. Forum itu mengangkat tema ''Penguatan Partisipasi dan Peran Perempuan dalam Pembangunan Ekonmi Negara Anggota OKI''. Under Secretary General/ Executive Director UN-Women Michelle Bachelet, selaku pejabat tertinggi di PBB dalam isu perempuan, akan hadir dalam konferensi ini.

         Apa makna konferensi itu bagi anggota OKI, dan Indonesia khususnya? Konferensi Inter-Governmental Organization (organisasi antarpemerintah) yang saat ini beranggotakan 57 negara berpenduduk muslim dari berbagai kawasan ini sangat strategis dalam konteks mengurai problem pembangunan dan hak perempuan, dengan melihat beberapa argumen. Pertama; semua anggota OKI adalah negara yang dalam politik internasional termasuk kelompok Negara Selatan (Global South) dengan beberapa karakteristik dan problem utama, yaitu bukan negara industri, bukan negara penemu teknologi, sebagian besar belum demokratis, dan berpopulasi tinggi (Kegley dan Wittkopf; 1997). Mereka mengisi 80% populasi dunia tetapi baru berkontribusi 20% produksi dunia. Mereka bukan negara maju (developed states) melainkan negara yang tengah membangun (developing states), atau bahkan negara miskin (poor states) yang menghadapi berbagai problem, dari sosial politik seperti integrasi, nation and state building, hingga permasalahan ekonomi (keterbelakangan dan pembangunan).
                Kedua; ditemukan realitas bahwa sebagian besar penduduk negara-negara itu adalah perempuan. Pada satu sisi, kondisi sistem sosial ekonomi politik yang belum tertata modern memungkinkan menempatkan perempuan sebagai pihak yang rentan dalam konflik ataupun relasi sosial diskriminatif. Pada sisi lain, sebagian besar dari perempuan itu masih berkutat bekerja di wilayah privat sehingga dalam konteks pembangunan, partisipasi mereka harus dibuka, didorong, dan ditingkatkan dalam berbagai sektor publik yang tersedia. Hampir semua anggota OKI menghadapi tantangan serupa, seperti kesempatan ekonomi bagi perempuan, baik dalam memperoleh pekerjaan, akses finansial, sumber daya produktif, maupun dalam konteks migrasi. Padahal, peningkatan kemampuan ekonomi perempuan terbukti berdampak positif bagi kesejahteraan keluarga dan komunitasnya, serta memberi multiplier effect bagi pengembangan kapasitas perempuan dalam bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan politik. Semua itu menjadi tantangan internal, dan OKI harus bisa membenahi. Karena itu, konferensi tersebut akan menjadi ajang saling berbagi pandangan mengenai peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, mengkaji perkembangan implementasi Rencana Aksi OKI untuk Pemajuan Perempuan (OIC Plan of Action for the Advancement of Women/ OPAAW) yang disepakati di Kairo pada 2008. Partisipasi Perempuan Ketiga; beberapa teori yang mempertanyakan underdevelopment (keterbelakangan/ ketertinggalan dalam pembangunan) menuding bahwa faktor internal yang buruk menjadi variabel penyebab. Tidak dimungkiri bahwa sementara ini masih dijumpai hambatan kultur, bahkan ideologis, di banyak negeri muslim terhadap women rights ini. Karena itu, perjuangan mendekonstruksi pemikiran yang meminggirkan dan mendiskriminasi perempuan harus diteruskan. Dalam kajian fikih (aturan/ syariat Islam) misalnya, mulai ada keberanian dari para fuqaha (ahli hukum Islam) untuk mengkritik teks yang diskrimiatif, termasuk merumuskan ulang tata relasi pria dan wanita yang lebih sejajar. Tentu ini harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati karena berkaitan dengan pemahaman supaya memperoleh hasil tapi bisa meminimalisasi riak dan efek negatifnya. Termasuk dalam konteks ini adalah rekomendasi Konferensi Civil Society Indonesia-Uni Eropa bertajuk ''Non-Discrimination: From Principles to Practice'' di Jakarta pada 24-25 Oktober lalu yang dalam pembahasan pada kelompok kerja hak-hak perempuan memutuskan untuk mendukung implementasi regulasi yang memenuhi gender equality, seperti perlindungan perempuan dari pernikahan dini, dan merevisi sejumlah peraturan yang diskriminatif. Sebagai negara berpenduduk muslim yang terbesar di dunia, serta moderat dan demokratis, Indonesia berkomitmen dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan sehingga akan menyuarakan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi hak perempuan, dan mendorong partisipasi penuh mereka dalam pembangunan. Pada akhir pertemuan ada gagasan menghasilkan Deklarasi Jakarta dan sejumlah rekomendasi kunci yang dapat dimanfaatkan guna menyusun kebijakan negara anggota OKI bagi pemajuan peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan. Keberhasilan konferensi tingkat menteri ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa kita bukan sekadar bisa menjadi tuan rumah yang sukses menyelenggarakan kegiatan itu melainkan juga berkontributif mengusung hak-hak perempuan. (10) – Andi Purwono, dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar