oleh Siti Maryamah
(SM-31 Mei 2012)Tanggal 31 Mei ini, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau. Peringatan ini adalah momentum untuk merefleksikan
relasi manusia dengan adiksi rokok.Tulisan berikut menarasikan sepotong budaya merokok masyarakat desa dalam perspektif gender.
SEBUT saja namanya Bu Minah. Sehari-hari beliau bekerja sebagai penjual bubur. Aneka bubur dibuatnya sejak pukul dua dini hari. Bubur kacang hijau, bubur mutiara, bubur ketan hitam dan bubur sumsum dalam empat panci besar telah siap memanjakan lidah pelanggannya pada jam enam pagi. Aneka bubur panas nan lezat itu akan segera tandas pada jam 07.30 pagi.
Sungguh penjualan yang fantastis, mengingat Bu Minah berjualan di desa yang relatif sepi. Tetapi, aneka bubur manis yang dijual Bu Minah ternyata tak selalu berbuah manis bagi pembuatnya. Harga gula yang melonjak tinggi memaksa Bu Minah memperkecil porsi buburnya, karena konsumen tak mau harga naik
Bu Minah juga terpaksa memperketat pengeluaran untuk konsumsi keluarga karena lonjakan harga semua bahan baku buburnya membuat keuntungannya turun drastis. Hasil kerja kerasnya melawan kantuk dan dingin dini hari memasak aneka bubur, semakin hari semakin tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Tetapi jangan salah. Meski segala sesuatu harus disesuaikan dengan tekanan keadaan, ada satu hal yang tak boleh berubah, yaitu anggaran rokok untuk suaminya yang buruh serabutan.
Adiksi dan Ironi
Suami Bu Minah adalah seorang perokok berat. Tiada pagi yang dapat disambutnya tanpa rokok menyelip di sela bibirnya. Demi sang rokok, Bu Minah harus mengurangi porsi kulakan bahan baku bubur, jika sang suami sedang menganggur. Maklum, buruh serabutan tak selalu ada pekerjaan. Prioritas pada rokok ini mengalahkan prioritas anggaran untuk aneka kebutuhan lain. Ironis!
Hal serupa dapat dengan mudah kita jumpai pada banyak keluarga di desa. Pada keluarga dengan ibu hamil, bisa saja tidak tersedia nutrisi tambahan untuk sang ibu, tetapi selalu tersedia rokok untuk sang bapak. Meski disadari bahwa nutrisi tambahan seperti susu, telor, kacang hijau, madu, dan lain-lain sangat penting, dan sebaliknya rokok sangat membahayakan sang janin. Tetapi wawasan ini, tidak serta merta mendorong perilaku dan pilihan yang selaras.
Demikian juga pada keluarga dengan anak putus sekolah. Tidak ada alokasi untuk biaya sekolah atau jika sekolahnya gratis, maka tidak ada biaya transportasi sehari-hari menuju ke sekolah atau uang saku untuk sang anak, tetapi lagi-lagi rokok tak pernah absen dari bibir sang bapak.
Jamak dijumpai di kampung-kampung, banyak keluarga memulai hari mereka dengan mengetuk warung tetangga, sekadar membeli atau bahkan berutang untuk satu sachet kopi dan sebatang rokok. Bisa ditebak, kedua benda itu adalah sajian wajib bagi pagi sang ayah. Sangat jarang dijumpai, ketukan di warung tetangga pada pagi buta itu bermaksud membeli sebutir telur atau satu sachet susu untuk sang anak atau ibu. Penulis memahami benar hal ini, karena penulis juga pengelola warung kelontong di sebuah kampung.
Pola konsumsi seperti ini berlangsung bertahun-tahun nyaris menyejarah, mengingat perilaku ini merupakan warisan turun temurun dari generasi sebelumnya. Sajian untuk sang kepala keluarga selalu lebih penting daripada pemenuhan kebutuhan lain yang secara akal sehat lebih urgen. Padahal sajian ini adalah racun bagi semua anggota keluarga! Semua ini berlangsung tanpa pemikiran yang kritis, diterima secara taken for granted, bahkan dianggap sebagai status quo yang layak didapat oleh sang pemilik jenis kelamin laki-laki, bahkan meskipun si lelaki ini tak cukup kapabilitas dan integritas menjadi kepala keluarga.
Rokok telah menimbulkan adiksi sedemikian rupa, sehingga aneka alasan pembenaran akan muncul dengan fasihnya jika gugatan terhadap perilaku ini dilontarkan pada seorang perokok. Daftar panjang alasan pembenaran dari yang tampak ‘’alami’’, ‘’ngeles’’, sampai yang mengada-ada siap menjadi amunisi sang perokok. Alih-alih berusaha mengubah perilaku merokoknya, perokok biasanya justru sangat defensif jika menghadapi gugatan terhadap perilaku meracuni diri sendiri tersebut.
Bekerja Keras
Dalam kasus Bu Minah, bisa kita lihat dengan transparan, bahwa perempuan yang pada akhirnya sering menjadi tulang punggung keluarga, harus bekerja sedemikian keras untuk menjadi korban sebagai perokok pasif. Bayangkan, bekerja sedemikian keras untuk menjadi korban! Ini ironi yang sangat dalam, tetapi tampak biasa karena sudah diterima sedemikian rupa karena lama dan banyaknya situasi serupa.
Menyajikan rokok bagi sang suami dimaknai sebagai bukti baktinya sebagai istri. Tidak ada tempat bagi pikiran yang mengkritisi situasi ini. Padahal jika dalil agama digunakan untuk menekankan pentingnya bakti istri pada suami, maka adalah agama juga yang menekankan kewajiban suami menafkahi istri, dan bukan sebaliknya. Adalah agama juga yang melarang perbuatan meracuni diri sendiri, apalagi juga mengorbankan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Apa yang menghalangi para perokok mencerna logika sangat sederhana ini?
Potret ketimpangan gender secara kasat mata, juga tampak dalam fenomena adiksi para suami akan rokok. Para istri yang banyak terjun menopang ekonomi keluarga, mendapat beban ganda untuk tetap beres mengurus rumah tangga, sekaligus menerima nasib sebagai perokok pasif. Ini tragedi yang sepi simpati. Pada keluarga ekonomi menengah, memang bisa saja adiksi suami akan rokok tidak sampai mengganggu ekonomi keluarga, tetapi pada kelas ekonomi bawah, adiksi rokok ini jelas menggeser prioritas kebutuhan keluarga yang lebih urgen. (24)
—Siti Maryamah, ibu rumah tangga, pengelola warung kelontong, tinggal di Banjarnegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar