Oleh : Susanto, MA
Kekerasan Berbaju Agama
Kekerasan agama adalah istilah yang
penggunaannya sangat luas. Istilah ini digunakan untuk menyebut berbagai
fenomena yang terjadi sebagai akibat dari persinggungan antara
kekerasan dan doktrin agama. Ia bisa mencakup (1) kekerasan yang
dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok, baik
dari agama yang sama atau berbeda, yang didorong motivasi keagamaan; (2)
kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara
mengucilkan, mempekerjakan yang tidak sesuai dengan hak dasar insani;
dan (3) kekerasan berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau
simbol keagamaan seperti kitab suci, nabi, dan tempat peribadatan.
Berdasarkan pengertian di atas, bentuk
dan jenis kekerasan agama banyak macam dan ragamnya. Salah satu fenomena
yang cukup serius dewasa ini adalah kekerasan pada anak. Tidak sedikit
anak dipukul orang tua, dengan motivasi agar mereka menjadi taat; karena
taat dipandang sebagai indikator kunci dari anak soleh. Di lembaga
pendidikan juga tak luput dari fakta ini. Lembaga pendidikan sebagai
wadah fasilitasi dan pengembangan dan multi potensi, terkadang justru
keluar dari frame sesungguhnya. Banyak bukti yang menunjukkan
bahwa guru masih perlu belajar lebih banyak tentang psikologi anak dan
manajemen pengelolaan kelas. Dalam beberapa kasus, anak dipandang
sebagai pihak yang pasif, sementara guru sebagai pemegang otoritas
segalanya. Ketika anak kritis terhadap apa yang disampaikan guru
dipandang sebagai anak yang bandel, tidak taat aturan bahkan
dikategorikan sebagai bukan anak saleh.
Dalam bahasa agama, istilah saleh pada
umumnya masih dipahami secara tekstual; indikator anak yang saleh; anak
yang nurut, kalau diperintah kemana saja mau, pendiam, selalu
mendengarkan instruksi orangtua/guru. Pengalaman di beberapa pesantren,
anak-anak mudah digerakkan oleh para guru, baik ke arah positif maupun
negatif. Secara positif, anak-anak diajak mengikuti kegiatan yang
mengasah potensi. Sedangkan yang mengarah ke perbuatan negatif yaitu
cenderung menggunakan baju saleh/salehah untuk mempekerjakan mereka di
bawah umur. Maksud dari para guru/pihak yayasan adalah melibatkan
anak-anak agar terbiasa berbuat sesuatu untuk umat. Namun yang menjadi
persoalan, ada sisi lain yang dikesampingkan yaitu proses pembentukan
karakter bagi anak. Anak pada umumnya cenderung imitasi. Ketika anak
diajari meminta-minta sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bentukan
karakter anak. Padahal, proses pengembangan karakter sebagai modal
sosial anak untuk melanjutkan tahapan proses berikutnya.
Sekedar sebagai refleksi, kita sangat
mudah melihat anak-anak yang mendapat tugas dari sebagian
pesantren/yayasan/ panitia pembangunan masjid untuk mencari dana di
sejumlah titik strategis. Anak di suruh meminta-minta di pinggir jalan,
bis-bis kota dan kapal serta tempat-tempat umum. Ironisnya tidak sedikit
pesantren/yayasan/ masjid menggunakan jasa anak di bawah umur. Tentu
hal ini sangat naïf bagi institusi berlabel agama. Pada sebagian kasus,
yang terjadi adalah eksploitasi anak secara terselubung. Atas nama agama
menjual anak-anak ke masyarakat untuk menggalang dana. Tentu langkah
ini menjadi keprihatinan bersama.
Survei PPIM (2006) menunjukkan bahwa
perilaku kekerasan agama seperti dicontohkan di atas berkorelasi positif
dengan pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang
kekerasan baik itu berasal dari Alqur'an, seperti kebolehan orang tua
memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun
Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat
ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika
berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang
perlunya kekerasan.
Seorang tekstualis akan menangkap
kebolehan memukulnya ketimbang, katakankah, esensi lebih dalam tentang
bagaimana mendidik atau melindungi anak. Model pemahaman keagamaan yang
tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan atas nama
agama. Namun itu tidak perlu disalahpahami bahwa agama menjadi sumber
kekerasan. Semuanya tergantung bagaimana agama dipahami. Model pemahaman
keagamaan yang universal jelas akan menghasilkan tafsir agama yang
ramah anak dan tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.
Hasil studi PPIM (2006) menunjukkan tingkat keikutsertaan (participation) maupun kesediaan (decision) orang
melakukan kekerasan agama. Sebanyak 46,6% responden menyatakan pernah
mencubit anak agar patuh pada orangtua, 22% pernah memukul anak yang
telah berumur sepuluh tahun karena meninggalkan salat.
Titik Temu Islam dengan Regulasi Perlindungan Anak
Dalam Islam banyak ayat atau hadits yang
menjelaskan pentingnya perlindungan anak. Namun secara institusional
belum menjadi simpul yang menggerakkan perlindungan anak secara massif.
Misalnya, zakat, dan lembaga sedekah lainnya tidak berfungsi secara
maksimal kecuali sifatnya ritual dan karikatif. Allah berfirman” araita al-Ladzii yukazzibu bi al-diin, fa dzaalika al-ladzi yadu’u al-yatim, wa la yahuddzu alaa ta’aamu al-miskin”
(Tahukah kamu yang mendustakan agama ? itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin ….. dan
enggan menolong dengan barang berguna (Surat l-Maa’unn ayat 1-3, dan 7).
Ayat tersebut menggambarkan kewajiban pada kita untuk memberikan
perlindungan pada anak. Maka bagi mereka yang memiliki kemampuan, atau
harta kekayaan berkewajiban memberikan sesuatu yang terbaik untuk
kesejahteraan anak, bukan memberikan sesuatu barang yang tidak berguna
bagi pemiliknya, misalnya baju bekas.
Bagi Islam, prinsip perlindungan anak
sebagaimana tertuang dalam KHA dan UUPA bukanlah hal yang baru karena
ajaran Islam telah banyak dijumpai dalam AL-Qur’an dan Al-Hadits maupun maqolah para sahabat.
Dalam CRC dijumpai 4 prinsip dasar, yaitu: non-discrimination (non diskriminasi); the best interest of child (kepentingan yang terbaik bagi anak); right of survival, develop and participation (hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan), dan recognition for free expression (penghargaan terhadap pendapat anak).
1. Non-Discrimination
Yang dimaksud non-diskriminasi adalah
penyelenggaraan perlindungan anak yang bebas dari bentuk apapun tanpa
memandang etnis, agama, keyakinan politik, dan pendapat-pendapat lain,
kebangsaan, jenis kelamin, ekonomi (kekayaan, ketidakkemampuan),
keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan dari anak dalam status
keluarga. Dalam pasal 13 dan 77 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak ditegaskan bahwa perlindungan anak dari diskriminasi
adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut
dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan anak. Apa yang telah
dirumuskan di atas tentang non-diskriminasi ditemukan pula dalam ajaran
Islam. Dalam Al-Qur’an terdapat larangan tindakan diskriminatif (ahabbu ilaa ……min)
pada anak. Seperti digambarkan dalam surat Yusuf 12: 8. adalah Nabi
Ya’kub lebih mencintai Yusuf daripada anaknya yang lain, Bunyamin.
Akibatnya Bunyamin dan saudara-saudara yang lainnya makar pada Yusuf,
dengan melakukan tindakan kekerasan kepadanya, yaitu memasukkan Yusuf ke
dalam Sumur. Ayat ini mengajarkan kepada kita agar tidak diskriminatif
dalam memperlakukan anak, lebih-lebih pada anak yatim. Allah berfirman
dalam surat Al-Nisa ayat 127: an taquumuu al-yataamaa bi al-qist (Hendaknya kamu berbuat adil pada anak yatim).
Dalam beberapa hadits banyak ditemukan
ajaran agar bersifat adil terhadap anak-anaknya. Diantaranya Nabi
melarang sikap orang tua yang diskriminatif. Nabi bersabda: ”Jika orang
tua ingin dihormati oleh anaknya maka sudah barang tentu anak harus
dididik dengan sebaik-baiknya dengan memperlakukan anak dengan adil,
tidak memihak pada salah satu anak”. Nabi Bersabda: ” Takutlah kalian kepada Allah dan berbuat adillah pada anak-anak kalian”. (Ittakullaha wa’adiluu fii aulaadikum, HR.
Muslim). Pada suatu ketika Nabi memberi peringatan pada orang tua yang
lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan dalam hal
memberikan curahan kasih sayang (HR. Bazaar) dan tentang kasus Nu’man
yang diskriminatif terhadap anak perempuan dalam hal memberikan
pemberian (HR. Bukhari).
2. The best of interest of child
Yang dimaksud dengan azas kepentingan yang terbaik bagi anak (the best of interest of child)
adalah bahwa dalam semua tindakan yang mengyangkut anak yang dilakukan
oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama
(pasal 3 ayat I Konvensi Hak Anak).
Dalam sejarah Islam baik pada masa Nabi
Muhammad SAW maupun Khulafaurrasyidin terdapat banyak peristiwa yang
menggambarkan pemihakan Islam terhadap anak bila terjadi peristiwa
keluarga yang terkait dengan status dan kepentingan anak. Diantaranya
dalan hal dimana orang tua diberi kesempatan untuk mengelola harta anak,
namun dalam perjalanannya cenderung merugikan anak.
Salah satu contohnya adalah kasus hak
harta anak. Disebutkan dalam riwayat, bahwa “sesungguhnya anakmu adalah
hasil kerja kerasmu yang paling baik, maka makanlah apa yang kamu
perlukan dari hasil anakmu” (HR. Ibnu Hibban). Hal serupa ditemukan
dalam riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah berkata: bahwa pada suatu ketika
ada seorang laki-laki menemui Abu Bakar dan berkata bahwa “ Ayahku
mengambil seluruh hartaku untuk keperluannya dan tidak menyisakan
sedikitpun”. Abu Bakar berkata, bahwa “ harta anakmu itu tidak boleh
digunakan seluruhnya” Ayah laki-laki berargumen, bahwa Rasulullah
bersabda, bahwa “ kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu” Abu bakar
menjawab, ya betul, akan tetapi yang dimaksud adalah nafkah yang wajib.”
( HR. Ibnu Majah).
Hadits tersebut di atas menunjukkan
adanya hak yang dilindungi oleh Islam, dalam arti ketaatan dan
pengabadian adalah sentral kunci seorang muslim, namun pengabdian itu
tidak boleh merugikan hak-hak anak itu sendiri. Seperti disebutkan dalam
Mu’jam Al-Mughni tulisan Ibn Qudamah, bahwa pemanfaatan harta
anak oleh orang tua harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1). Tidak
memberatkan dan tidak membahayakan si anak dan tidak mengambil sesuatu
yang sangat dibutuhkan oleh si anak tersebut; 2). Harta dimaksud tidak
diberikan pada orang lain.
3. Survival and Development of Child
Yang dimaksud dengan asas hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling
mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah masyarakat,
keluarga, dan orang tua (pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002).
Dalam ajaran Islam anak adalah bukan
saja anugerah Allah, tetapi juga adalah amanah. Islam memandang bahwa
Anak memiliki hak tumbuh kembang dan hak hidup yang mendasar. Hal ini
dapat dilihat dalam satu kisah Ju’alan. Ada suatu ketika ada seseorang
pria mengadukan anaknya yang durhaka kepada Khalifah Umar seraya berkata
“ Apakah kamu tidak takut kepada Allah bila kamu durhaka kepada orang
tua ini”? Lalu anak itu menjawab, “wahai amirul mukminin, apakah ada hak
bagi anak dari ayahnya ? Ya, ada, yaitu dilahirkan dari ibunya,
memberikan nama yang baik dan mengajarkannya kitab suci”. Anak itu
berkata” demi Allah, ibuku hanya seorang budak yang dibeli dengan harga
400 dirham, ia tidak memberi nama yang baik, tetapi memberi nama
Ju’alan, dan tidak mengajarku kitab suci walaupun hanya satu ayat.
Kemudian Umar berpaling pada ayahnya dan berkata,” engkaulah yang
durhaka kepada anakmu, bukan anakmu yang durhaka, pergilah dari sini,”
(HR. Thabrani). Dalam bidang ekonomi, anak juga memiliki hak yang harus
dilindungi. Allah berfirman, “ Wa alalmauluudi lahu rizkuhunna wa qiswatuhanna bil ma’ruuf ( dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf) “Al-Baqarah: 233 Nabi bersabda: “qafaa bima itsman ayyudhoyyi’a man yakuutu” (cukuplah dosanya bagi orang yang menyia-nyiakan orang berhak diberi hak dirinya”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
4. Recognition for free expression
Prinsip keempat dari prinsip dasar
perlindungan anak adalah penghargaan terhadap pendapat anak. Yang
dimaksud dengan prinsip ini adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan
terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya dan
mainan yang dikehendaki.
Dalam pandangan Islam, anak tidak saja
memiliki kebebasan menyatakan pendapat, tetapi juga didorong untuk mampu
menyampaikan pendapatnya dan mengekspressikan kesenangannya secara
leluasa. Misalnya, Rasulullah tidak pernah menyela sekelompok anak yang
mengekspressikan kesenangannya dalam sebuah arena permainan, kecuali
beliau mengucapkan salam dan ikut menjaga dan menyaksikan, karena Nabi
senang pada kegembiraan dan keceriaan anak yang sedang bercanda dan
bermain (HR. Ahmad).
Yang menarik dari pentauladanan Nabi dalam memperlakukan anak adalah tidak pernah membunuh gagasan (shut down), tetapi justru memberikan inspiring pada anak dengan menghindari kata-kata yang menghina (famaa kaala lahuu uffun) dan meninggalkan kata-kata mendikte (walaa alla shana’ta –HR.
Bukhari Muslim). Yang banyak ditampilkan Nabi adalah kearifan dalam
memperlakukan anak. Misalnya, ketika terjadi perbedaan pendapat dengan
anak-anak beliau memperlakukan secara bijaksana dengan menggunakan
kata-kata “fashabrun alaihinna (sabarlah terhadap mereka)”. Kemudian “faahsin shuhbatahunna” (bergaulah dengan baik sesama mereka) (HR. Ahmad).
Sejalan dengan ini, Al-Ghazali menyarankan dalam kitab Ihya’Ulumuddin Juz 3, bahwa
janganlah memperbanyak ucapan mencelah anak karena hal tersebut akan
membuat anak meremehkan celaan, yang pada gilirannya akan membuat anak
tidak menghargai nasehat-nasehat orang tua. Karena itu, pendapat seorang
anak perlu dihargai, kalaupun tidak sependapat dengannya jangan sampai
keluar kata-kata mendikte apalagi mencela, apalagi menghentikan expressi
pendapat anak (HR. Ahmad).
Islam, Bukan Agama Kekerasan
Kehadiran Islam sesungguhnya untuk
menyelesaikan problem kemanusiaan. Bagaimana mereka harus bersikap,
bersosialisasi, menyelesaikan masalah, senantiasa meniscayakan adanya
panduan dari ajaran yang dibawa, meski tidak secara formal. Namun
demikian, tidak seluruh ajaran Islam terperinci secara detail, sebagian
unsur ajaran masih global dan belum bisa difungsikan secara praktis. Ini
bukan mencitrakan adanya problem pada ajaran agama, justru mengandaikan
adanya ruang bagi manusia untuk membaca kalam Tuhan, dan memahami
sesuai dengan kemampuan, kebutuhan untuk menyelesaikan problem
kemanusiaan termasuk masalah anak.
Di masyarakat sangat mudah ditemukan
pemahaman terhadap ajaran Islam yang tekstual. Tekstualisme pemahaman
itu dikarenakan oleh kuatnya pengakuan terhadap produk tafsir klasik.
Padahal setiap produk tafsir memiliki ruang dan zamannya. Tidak setiap
produk tafsir aplikatif di setiap zaman. Yang berdiri di lintas zaman
dan ruang adalah prinsip dasar dari ajaran Islam. Islam sesungguhnya
bukanlah apa yang ada dalam tafsir. Karena tafsir hanyalah hasil ijtihad
ulama pada masanya. Islam adalah agama ramah kepada semua. Anak
merupakan bagian dari yang dimulyakan Islam. Rasulullah Saw mengajarkan
kepada kita untuk menyayangi keluarga termasuk anak di dalamnya. Ini
menandakan bahwa Rasul mengajarkan umatnya untuk ramah terhadap hak
anak. Sabda Rasulullah Saw: "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang kepada keluarganya. Islam juga mensyariatkan untuk memperhatikan kualitas generasi penerusnya, sebagaimana QS An-Nissa' ayat 9: Artinya:"Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka?".
Teks di atas sesungguhnya dapat menjadi counter terhadap
beragam tindak kekerasan anak atas nama agama yang ada di masyarakat.
Dalam Islam prinsip perlindungan anak merupakan ajaran universal dan
bukan ajaran partikular. Ajaran universal adalah ajaran yang tidak
dibatasi oleh lintas ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun semangat
perlindungan yang diajarkan oleh Islam hendaknya dapat menyemangati
seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Jangan sampai harmonitas keluarga
terkikis habis, karena persoalan labelisasi kekerasan pada agama. Bila
ini terjadi, nama besar agama sebagai agama rahmat akan ternodai.
Salah satu entry point untuk menyelesaikan persoalan kekerasan berbasis agama adalah reinterpretasi terhadap ajaran Islam. Tujuannya dapat mem- breackdown prinsip
universal ajaran agama agar benar-benar menjadi rahmat bagi semua
orang. Ini akan menjadi pilar penting dalam pengarusutamaan perlindungan
anak di lintas sektoral. Terlebih nilai dasar agama memiliki urgensi
yang tinggi untuk membangun budaya anti kekerasan terhadap anak. Memang
tidak semua bentuk dan jenis kekerasan anak atas nama agama dapat
dinisbatkan pada pemahaman agama yang tekstual. Masih ada variabel lain
yang turut menyumbang terjadinya perilaku kekerasan agama. Namun
dibanding variabel lainnya, variabel ini cukup berpengaruh mendorong
timbulnya perilaku kekerasan anak. Wallahu a’lam
Alhamdulillah atas support Ibu blog smpn1karangdadap berhasil meraih juara 2 pada lomba weblog sekolah di BPTIKP Jateng. Hasil lomba blog guru baru Senin nanti bisa diketahui lewat website BPTIKP.
BalasHapusYa , Selamat ya pak, kerja keras Bapak selain membawa manfaat bagi banyak orang terbukti mendapat penghargaan bergengsi tingkat provinsi Jateng, meski untuk Blog Gurunya hanya peringkat 6 tapi sudah luar biasa..... Keep blogging n always be useful to others!
BalasHapus