Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis ,SH
Perlu
diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004,
adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik,
seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide,
pasal 1 ayat 1 ).
Mengingat UU tentang KDRT merupakan hukum
publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang
melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam
kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun tentang siapa saja yang
termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah : a). Suami, isteri, dan
anak, termasuk anak angkat dan anak tiri ; b). Orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap
dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan ; dan
c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal
dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.
Adapun bentuk KDRT
seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami terhadap anggota
keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan psikis, yang
mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3).Kekerasan
seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik
untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan
tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup
rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada
di bawah kendali orang tersebut.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat
dituntut kepada pelakunya, antara lain : a).Perlindungan dari pihak
keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan ; b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ; c).
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan e).
Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk
mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide,
pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Dalam
UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu : a).Merumuskan
kebijakan penghapusan KDRT ; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi
dan edukasi tentang KDRT ; c). Menyelenggarakan sosialisasi dan
advokasi tentang KDRT ; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan
akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT,
dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya :
a) mencegah KDRT ; b) Memberikan perlindungan kepada korban ;
c).Memberikan pertolongan darurat ; dan d). Mengajukan proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan ; (vide pasal 15 UU PKDRT). Namun
untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan
seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri, maka yang
berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang
melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide, pasal
26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau
Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26
ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan
(vide, pasal 27).
Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004
tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53.
Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5
tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau
denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500
juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004
tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi
juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan
terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang
menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar