SPM
menyediakan panduan mengenai prinsip umum layanan, kode etik bagi
petugas layanan, informasi standar bagi korban dan keluarganya serta
skema alur layanan terpadu. Lima SOP yang dikembangkan yakni untuk
layanan pengaduan, layananan kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan
hukum, dan pemulangan dan integrasi diupayakan bertujuan untuk mendukung
UPT di P2TP2, UUPA (dahulu RPK), Puskesmas, Rumah Sakit, Lembaga
Bantuan Hukum, dan pusat UPT lainnya.
SOP
untuk layanan pengaduan secara khusus memberikan panduan mengenai
penanganan pengaduan, prosedur penerimaan pengaduan (melalui telepon,
surat, datang langsung), intervensi klinis, layanan rujukan, dan
penjangkauan korban. SOP ini dilengkapi dengan berbagai formulir isian
yang dapat digunakan digunakan oleh UPT dalam penanganan pengaduan. SOP
layanan kesehatan memberikan panduan mengenai dampak dan penanganan
kesehatan terkait dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak
korban kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. SOP ini memuat
prosedur layanan kesehatan, sistem rujukan, dan evaluasi terhadap
penyediaan layanan kesehatan. Lampiran tambahan dalam SOP ini
menjelaskan lebih detil mengenai penanganan dan pemeriksaan korban serta
berbagai formulir isian yang relevan.
SOP
rehabilitasi sosial menyediakan panduan terkait dengan penyediaan rumah
aman, konseling, rujukan, dan bimbingan rohani bagi perempuan korban
kekerasan. Adapun SOP mengenai bantuan dan penegakan hukum pada dasarnya
untuk memperkuat layanan di Kepolisian yakni di lingkup UUPA. SOP
layanan pemulangan dan reintegrasi sosial nampaknya dibuat khusus untuk
penanganan pemulangan perempuan TKW dan perempuan korban trafficking,
sehingga panduan dalam SOP ini juga melibatkan Kedutaan Besar RI.
Selain
membuat lima SOP, SPM juga membuat pedoman sistem pencatatan dan
pelaporan data kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tujuan pencatatan
ini adalah agar setiap UPT di tiap tingkatan pemerintahan memiliki
pencatatan proses penanganan kasus yang lengkap. Namun alur pencatatan
tidak menegaskan dengan jelas tujuan akhir dari proses pencatatan. Tidak
ada penjelasan apakah proses pencatatan berhubungan dengan pencatatan
data kriminalitas di bahwa mandat Kepolisian RI. Padahal UUPA merupakan
bagian dari prosedur layanan dalam salah satu SOP dalam SPM.
Untuk
kelancaran pelaksanaan SPM, maka sebuah standar pembiayaan terjadi ke
lima bidang layanan disediakan oleh SPM dalam pedoman tersendiri.
Standar pembiayaan menyediakan komponen pembiayaan dan contoh standar
biaya untuk kebutuhan pelaksanaan lima macam layanan di bawah UPT.
Gap dan Tantangan
Berbagai
pedoman yang dikembangkan di bawah SPM pada dasarnya merupakan
pengembangan dari layanan terpadu yang selama ini telah didiskusikan
oleh berbagai organisasi perempuan. Komnas Perempuan secara khusus
bahkan telah membahas konsep ini dan mengujicobakannya dengan RSCM,
sebuah Rumah Sakit Nasional di Jakarta. Adapun konsep layanan terpadu
yang dikedepankan oleh Komnas Perempuan mengusung keterlibatan berbagai
kementrian terkait (KPPA, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan,
Kepolisian). Keterlibatan kementrian terkait merupakan wujud kongrit
dukungan pelaksanaan layanan terintegrasi dari pemerintah. Dengan
demikian, implikasi hukum dan kebijakan yang timbul dari UPT akan
langsung ditangani oleh lembaga pemerintah terkait (Diarsi 2004).
SPM
memang menyediakan pedoman dan SOP layanan yang lengkap namun tidak
mengarahkan kemana implikasi kebijakan yang timbul dari UPT ini. Tidak
ada konsep dan penjelasan yang memaparkan keterkaitkan kementrian
terkait sebagaimana usulan awal yang telah dibangun oleh Komnas
Perempuan. Selain itu, SPM tidak mengaitkan potensi keberadaan
pencatatan data kekerasan berbasis gender di bawah UPT dengan data
Kepolisian. Padahal selama ini organisasi perempuan telah mengajukan
persoalan minimnya data kekerasan berbasis gender di bawah institusi
Kepolisian. Dalam situasi ini, pencatatan data yang akan dihasilkan
oleh UPT berpotensi untuk menjadi tumpukan data yang kurang bermakna.
Gap
terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsung antara
proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian. Padahal SPM
telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korban sangat berpengaruh
pada dampak psikologis perempuan korban kekerasan. Adalah benar bahwa
SOP mengenai layanan kesehatan menyediakan layanan komprehensif untuk
perempuan korban kekerasan seksual, namun pedoman SPM berfokus pada
memberikan panduan ‘pemulihan psikologis’ semata dan belum memasukkan
‘pengambilan data untuk kepentingan penyidikan’. Hal ini merupakan
akibat dari penulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks
reformasi hukum dan kebijakan untuk layanan terpadu.
Minimnya
penegasan mengenai keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga hukum
terkait merupakan tantangan besar bagi koordinasi layanan terpadu yang
dibangun dibawah SPM. Kendati SPM menunjukkan peran-peran instansi
pemerintah dan lembaga hukum terkait, namun tanpa dasar hukum yang
menegaskan keterkaitan lembaga tersebut dalam layanan UPT menyebabkan
tidak adanya insentif bagi mereka untuk berkoordinasi dalam penyediaan
layanan UPT. Pertanyaan yang lebih kongkrit lagi: bagaimana mendorong
Kepolisian menggunakan temuan data kekerasan seksual yang dihasilkan
oleh layanan kesehatan di bawah UPT tanpa keterlibatan Kepolisian secara
institusional?
SPM
sungguh membangun suatu UPT dengan dasar keniscayaan bahwa UPT akan
berjalan dengan sendirinya tanpa dasar kebijakan dan insentif bagi para
pihak yang terlibat di dalam nya. KPPA perlu mengeluarkan addendum SPM
mengenai keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga hukum jika SPM
ingin berguna dan berdampak secara efektif bagi perempuan korban
kekerasan.
Dikutip dari :
Diarsi et.al. (2004) Layanan Terpadu: Pertautan Multi Disiplin dan Sinergi Kekuatan Masyarakat dan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010) Prosedur
Standar Operasional Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang
Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Jakarta: KPPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar